1. Landasan yang Menjamin Persamaan Kedudukan
Warga Negara
a. Makna persamaan
Persamaan merupakan perwujudan kehidupan di dalam
masyarakat yang saling menghormati dan menghargai tanpa membeda-bedakan suku,
agama, ras, dan antargolongan (SARA). Pengetahuan dan pemahaman yang kurang
tentang kehidupan yang beradab serta kehidupan sosial-budaya yang terbelakang
akan menyebabkan hilangnya “makna persamaan” dan berubah menjadi
“diskriminasi”.
Di negara-negara berkembang, lebih
memaknai “persamaan hidup” secara kultural karena faktor adat istiadat dan
budaya yang diterapkan turun-temurun. Rasa penghormatan dan penghargaan sering
ditemui, pada masyarakat pedesaan yang masih menjaga dan memelihara adat
istiadat dan budaya mereka. Di kota-kota besar pada umumnya dengan masyarakat
yang sudah kompleks (heterogen) dan multikultural, tentu tidak banyak yang bisa
diharapkan.
b. Jaminan persamaan hidup
(pendekatan kultural)
Jaminan
dalam persamaan hidup dalam kehidupan bangsa Indonesia secara kultural telah
tertanam melalui adat dan budaya yang relatif memiliki nilai-nilai yang hampir
sama. Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” mengindikasikan bahwa dalam kurun waktu
perjalanan hidup bangsa Indonesia hingga saat ini, masalah perbedaan suku,
agama, ras, antargolongan tidaklah menjadi penghalang dalam pergaulan hidup.
Sebaliknya, mampu menjadi perekat dalam kehidupan yang serasi, selaras dan
seimbang.
Beberapa
nilai kultural bangsa Indonesia yang patut dilestarikan dalam upaya memberikan
jaminan persamaan hidup dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
antara lain sebagai berikut.
1. Nilai religius.
Sejak jaman dahulu hingga sekarang,
bangsa Indonesia kaya akan nilai-nilai religius. Masih ada sebagian masyarakat
yang menganut tata cara ritual dengan perantaraan roh (animisme), benda-benda
atau pohon-pohon tertentu (dinamisme), dewa-dewa (panteisme), dan kepada Tuhan
Yang Maha Esa (monoteisme). Inti dari nilai religius adalah menghargai
persamaan hidup dan memberi jaminan bahwa setiap manusia diciptakan mempunyai
kedudukan yang sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Perbedaan dihadapan Tuhan
terletak pada derajat ilmu pengetahuan, adab, dan keimanan.
2. Nilai gotong-royong.
Nilai gotong-royong pada sebagian
masyarakat Indonesia masih sangat kuat dan bertahan sebagai wujud kepedulian
untuk membantu sesama. Nilai gotong royong muncul dalam bentuk tindakan seperti
membantu dan membangun rumah, bersama-sama membuat jembatan, menolong yang
terkena musibah bencana alam, menjaga keamanaan bersama (ronda dan siskamling).
Nilai ini merupakan wujud “jaminan persamaan hidup” dengan tidak
membeda-bedakan status sosial, suku, agama, ras, dan antargolongan. Esensi
nilai gotong royong adalah adanya keinginan yang kuat dalam setiap anggota
masyarakat dalam meringankan beban orang lain sehingga mampu jadi mandiri.
3. Nilai ramah tamah.
Salah satu keunggulan sekaligus
kebanggaan bangsa Indonesia yang harus dilestarikan adalah sikap sopan dan
ramah tamah. Esensi dari sikap sopan dan ramah tamah adalah adanya ketulusan
melakukan suatu perbuatan dengan berprasangka baik terhadap orang lain, baik
yang sudah dikenal maupun yang belum dikenal.
4. Nilai kerelaan
berkorban dan cinta Tanah Air
Rela berkorban dan cinta tanah air
merupakan wujud ketulusan pengorbanan seseorang baik dalam bentuk harta benda
maupun nyawa untuk kepentingan harga diri, harkat dan martabat bangsa dan
negara. Hidup tanpa mau berkorban demi kepentingan orang lain dan memelihara
rasa kebersamaan, tidak akan mempunyai arti dalam bermasyarakat. Esensi rela
berkorban dan cinta tanah air adalah bahwa kehidupan manusia dan rasa
kebanggaan yang mendalam jika sanggup melakukan pengorbanan untuk kepentingan
orang lain atau bangsa dan negara sebagai wujud rasa cinta yang tulis dan
mendalam.
c. jaminan persamaan hidup
dalam konstitusi negara.
Oleh
karena konstrksi yang dibangun oleh bangsa Indonesia bersumber dari keberagaman
suku, agama, ras, dan antargolongan dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”,
maka sudah menjadi kewajiban negara untuk mampu memberikan jaminan persamaan
hidup dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jaminan persamaan
hidup warga negara didalam konstitusi negara adalah sebagai berikut.
1. Pembukaan UUD 1945
Pada alinea satu pembukaan UUD 1945
disebutkan bahwa “sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Kalimat tersebut mengandung makna
adanya pengakuan jaminan persamaan hidup bagi bangsa beradab manapun didunia
ini, karena tidak satupun bangsa yang mau dijajah bangsa lain.
Demikian pula dengan alinea ke-4
pembukaan UUD 1945, yang berbunyi “ Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial”. Pada kalimat “Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia”. Terkandung makna bahwa negara mampu meberikan jaminan persamaan
hidup yang berkeadilan sosial, baik internal bangsa maupun partisipasi aktif
terhadap dunia Internasional. Jelaslah bahwa perihal jaminan persamaan hidup di
Indonesia secara konstitusional telah secara eksplisit dinyatakan untuk
diimplementasikan kedalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Sila-sila Pancasila
Pengakuan jaminan persamaan hidup dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia juga telah
dirumuskan dalam sila-sila Pancasila sebagai berikut :
1) Ketuhanan Yang Maha Esa
Segala agama dan kepercayaan yang ada
di Indonesia berpusat pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, makna
pertama dalam sila utama ini yaitu adanya pengakuan persamaan jaminan hidup
bagi warga negara Indonesia untuk beragama dan melaksanakan ajaran agamanya
sesuai dengan keyakinan masing-masing.
2) Kemanusiaan Yang Adil Dan
Beradab
Sila ini menunjukan ekspresi bangsa
Indonesia yang berkeinginan kuat dalam aspek-aspek hubungan antarmanusia
terdapat jaminan persamaan hidup dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
berdasarkan moralitas yang adil dan beradab.
3) Persatuan Indonesia
Dengan sila ini,setiap bangsa Indonesia
mampu meletakkan kepentingan serta keselamatan bangsa dan rakyat diatas
kepentingan diri sendiri dan golongan.Setiap warga negara harus sanggup
memberikan jaminan persamaan hidup antarwarga dan siap berkorban untuk bangsa
dan negara atas dasar cinta tanah air.
4) Kerakyatan Yang Dipimpin
Oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Sila ini menunjukkan kehidupan
demokrasi dengan memberikan jaminan persamaan hidup bagi setiap warga
negara,mewujudkan cita-cita luhur melalui konsensus adanya persamaan
politik,hukum,ekonomi,dan sosial budaya.
5) Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia
Dalam pelaksanaan hubungan antarmanusia
yang mencakup jaminan persamaan hidup,semua bentuk eksploitasi manusia oleh
manusia lain sangat dilarang.Setiap anggota masyarakat diharapkan mampu
menciptakan kondisi untuk semua golongan mendapatkan kesempatan yang sama dan
berkeadilan menuju penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
3. UUD 1945 dan
Peraturan Perundangan Lainnya
Pasal-pasal UUD 1945 dan peraturan
perundangan lainnya yang berkaitan mempertajam keinginan. Penyelenggara negara
dalam memberikan jaminan persamaan hidup bagi warganya. Adapun pasal dan
peraturan tersebut sebagai berikut.
ü Pasal 26 ayat (1),yang berbunyi “Yang menjadi
warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa
lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”.
ü Pasal 27 ayat (1),yang berbunyi “Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjungjung
tinggi hukum dan pemerintahan tersebut dengan tidak ada kecualinya”.
ü Pasal 27 ayat (2),yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
ü Pasal 27 ayat (3),yang berbunyi “Setiap warga negara
berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”.
ü Pasal 28 yang berbunyi “ Kemerdekaan berserikat,
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang”.
ü Pasal 28A yang berbunyi “ Setiap orang berhak untuk hidup
serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehiudpannya”.
ü Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu’’.
ü Pasal 30 ayat (1) yang berbunyi “ Tiap-tiap warga negara
berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”.
ü Pasal 31 ayat (1) yang berbunyi “ Setiap warga negar
berhak mendapatkan pendidikan”.
ü Pasal 32 ayat (1) yang berbunyi “Negara memajukan
kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin
kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.
ü Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi “ Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
ü Pasal 34 ayat (1) yang berbunyi “ Fakir miskin dan anak –
anak terlantar dipelihara oleh negara”.
ü UU No.40 tahun 1999 yaitu jaminan kepada warga negara
untuk mengeluarkan pikiran dan tulisan melalui media massa dan pers”.
ü UU No. 3 tahun 2002 yaitu jaminan kepada warga negara
untuk membela begara melalui “Pertahan Negara”.
ü UU No. 31 tahun 2002 yaitu jaminan kepada warga negara
untuk mendirikan “Partai Politik”.
ü UU No. 4 tahun 2004 yaitu jaminan kepada warga negara
untuk hak praduga tak bersalah melalui “Kekuasaan Kehakiman”.
2. Berbagai aspek Persamaan Kedudukan setiap
Warga Negara
Kedudukan
warga negara di dalam suatu negara dangat penting terkait dengan hak dan
kewajiban yang dimiliki sebagai warga negara, sehingga hak dan kewajiban dasar
dari seorang waega negara diatur dan ditentukan oleh Undang-Undang ang berlaku.
Berikut
adalah beberapa hak dan kewajiban warga negara dalam bidang tertentu yang
berkatan dengan kehidupan kenegaraan antara lain :
1. TAP MPR No. IV/MPR/1983
Jo. UUD No. 5 tahun 1985, tentang
referendum, yaitu bahwa warga negara berhak memberikan persetujuan atau menolak
adanya keinginan MPR untuk mengubah UUD 1945 (pasal 37 ayat 1 UUD 1945). Pasca ordebaru ketetapan ini telah
dicabut dengan TAP MPR No VIII/MPR/1998. Sehingga masalah perubahan UUD sepenuhnya menjadi wewenang MPR.
2. UU No. 3 tahun 1975 Jo.
UU No.3 tahun 1985 dan diubah dengan UU No. 2 tahun 1999 tentang Parta Politik
serta UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yaitu warga negara
berhak menentukan pilihannya untuk menjadi salah satu anggota Parpol. Selain
itu warga negara juga berhak mendirikan organisasi-organisasi sosisal
kemasyarakatan dalam mewujudkn aspirasi-aspirasi kelompoknya. Ketentuan
tenatang Partai Politik diatur melalui UU No.31 tahun 2002.
3. UU No. 15 Thun 1969 Jo.
UU No.24 tahun 1975 Jo. UU No. 1 tahun 1985 dan UU No. 3 tahun 1999 tentang
Pemilu, yitu dengan aanya hak warga negara dalam pemilu, baik sebagai hak pilih
aktif (memilih) maupun hak pilih pasif (dipilih).
4. UU No. 11 Tahun 1966 Jo.
UU No. 21 tahun 1982 Jo. UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, yaitu warga negara
mempunayi hak dalam mengelurkan pikiran lisan atau tulisan baik melalui media
massa, media cetak, maupun media elektronik.
5. UU No. 14 tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu adanya hak menlak
dikenakan penangkapan tanpa perintah yang sah, hak praduga tak bersalah (presumption of innocence), hak
memeperoleh bantuan hukum, dan sebagiannya. Untuk selanjutnya tentang Kekuasaan
Kehakiman diperbarui dengan keluarnya UU No. 35 tahun 1999 dan UU No. 4 tahun
2004.
6. UU No. 20 tahun 2002
tentang Pokok-pokok Pertahanan dan Keamanan, yaitu kewajiban membela negara
dengan ABRI (sekarang TNI dan Polri)
sebagi tulang punggungnya. Selanjutnya sesuai dengan semangat reformsi ketentun
tentang Pertahanan Negara diganti dengan UU No. 3 tahun 2002. Sedangkan Khusus
untuk Kepolisian Negara, diatur tersendiri dengan UU No. 2 tahun 2002.
KONSEPSI NILAI
DEMOKRATIS, KEBERSAMAAN DAN KETAATAN HUKUM DALAM MENINGKATKAN PEMAHAMAN
NILAI-NILAI KONSTITUSI
1. Umum.
Perjuangan bangsa Indonesia dalam rangka
membentuk “satu kesatuan sebagai bangsa “nation” dan “membentuk negara
yang merdeka” penuh dengan dinamika dan pasang surut. Dari berbagai peristiwa
perjalanan perjuangan tersebut ada suatu peristiwa yang perlu terus kita
jadikan sebagai catatan penting, karena pada saat-saat itulah sebuah komitmen
atau konsensus bangsa diletakkan. Peristiwa dimaksud adalah “Proklamasi
Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 yang kemudian dilanjutkan dengan
pengesahan UUD NRI Tahun 1945 sebagai Konstitusi Negara”. Peristiwa Proklamasi
Kemerdekaan dan pengesahan UUD NRI Tahun 1945 merupakan konsensus nasional
(semua warga bangsa) bahwa pengaturan kehidupan berkebangsaan dan kehidupan
bernegara dalam negara Indonesia yang dibentuk disepakati dengan dilandasi oleh
ideologi negara yang disebut Pancasila, dilandasi oleh sebuah konstitusi negara
yang disebut UUD NRI Tahun 1945, disepakati mengenai konsepsi bentuk negaranya
adalah negara kesatuan Republik Indonesia, dan disepakati bahwa masyarakatnya
berada dalam satu ke-Indonesia-an yang terdiri dari berbagai suku/ras/etnis,
budaya, agama dan norma-norma kehidupan yang mencerminkan dalam Bhinneka
Tunggal Ika.
Konsensus nasional tersebut menjadi panduan
penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam perjalanan
sejarah sampai saat ini. Berbagai peristiwa penghianatan berupa pemberontakan,
gerakan separatis, coup d’Etat, bahkan perjuangan politik yang legal
melalui Konstituante, yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat untuk
merubah atau mengganti konsensus tersebut dapat diatasi. Konsensus nasional
yang selama ini nilai-nilai dasarnya menjadi dasar dalam penanaman, penumbuhan,
dan pengembangan rasa, jiwa dan semangat kebangsaan serta memberikan panduan,
tuntunan dan pedoman bagi bangsa Indonesia melakukan perjuangan guna mencapai
cita-cita nasionalnya, ternyata mengalami suatu kemunduran (degradasi).
Degradasi rasa, jiwa dan semangat kebangsaan. Indikasi dari degradasi tersebut
terlihat semakin menipisnya kesadaran dan kurang dihayatinya tata kehidupan
yang didasarkan pada nilai-nilai ideologi Pancasila pada hampir semua generasi
bangsa.
Oleh karena itulah kita perlu mengangkat kembali
nilai-nilai kebangsaan khususnya nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi
UUD NRI Tahun 1945, demi meneguhkan kembali jati diri bangsa dan membangun
kesadaran tentang sistem kenegaraan yang menjadi konsensus nasional, sehingga
diharapkan bangsa Indonesia dapat tetap menjaga keutuhan dan mampu menegakkan
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia di tengah terpaan arus
globalisasi yang bersifat multidimensial.
Nilai-nilai Kebangsaan yang terkandung dalam
pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945, yaitu:
1)
Nilai demokrasi, mengandung makna bahwa kedaulatan berada ditangan
rakyat, setiap warga negara
memiliki kebebasan yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaran pemerintahan.
2)
Nilai kesamaan derajat, setiap warga negara memiliki hak,
kewajiban dan kedudukan yang sama di
depan hukum.
3)
Nilai ketaatan hukum, setiap warga negara tanpa pandang bulu wajib
mentaati setiap hukum dan
peraturan yang belaku.
1. Sehingga diharapkan nilai-nilai tersebut untuk
dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Membangun Sistem Demokrasi sesuai dengan
Konstitusi UUD NRI Th. 1945 [1].
Proses reformasi yang bergulir pada penghujung
tahun 1998, pada hakekatnya merupakan proses demokratisasi yang dilakukan
bangsa Indonesia secara gradual, berkesinambungan dan sistematis serta
menyeluruh. Proses ini akan merupakan “on going process” mengingat
agendanya yang berlanjut di samping interaksi pelbagai fenomena sosial politik
yang harus dihadapi karena lingkungan strategis yang berubah dengan cepat, baik
yang bersifat nasional, regional maupun internasional.
Bangsa Indonesia telah sepakat untuk melakukan
meminjam istilah BJ Habibie- “evolusi yang dipercepat” (accelerated
evolution) dengan membangun sistem demokrasi yang sehat atas dasar
evaluasi dan introspeksi terhadap pelbagai sistem demokrasi yang pernah
diterapkan di Indonesia yang dinilai ternyata gagal, yaitu demokrasi liberal
pada awal kemerdekaan yang tidak menjamin stabilitas pemerintahan, demokrasi
terpimpin pada era orde lama dan demokrasi Pancasila di era orde baru yang
menghasilkan pemerintahan yang otoriter.
Dalam proses tersebut pelbagai indeks demokrasi
ditegaskan pengaturannya, seperti pemantaban kehidupan konstitusionalisme,
promosi dan perlindungan HAM, kekuasaan kehakiman yang merdeka, otonomi daerah,
pemilihan umum yang jujur dan adil secara langsung baik pemilu legislatif, DPD,
Presiden/wakil Presiden serta pilkada, pemisahan Polri dari TNI, “civilian
control to the military” perkembangan masyarakat madani, kebebasan mass
media, pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif dan sebagainya dalam
waktu yang relatif sangat cepat.
Sejak Tahun 1998 kita telah berusaha
untuk membangun sistem demokrasi tersebut atas dasar serangkaian nilai-nilai
yang diyakini secara akademis dan empiris sebagai “core
values of democracy” sebagaimana yang berlaku di
Negara maju dan memperoleh pengakuan dari PBB. Nilai-nilai dasar tersebut
adalah :
1) Prinsip
pemerintahan berdasar konstitusi (baru) yang menjamin checks and balances
yang sehat.
2)
Pemilihan umum yang demokratis (free and fair), yang pada akhirnya
telah mengembalikan kedaulatan
sepenuhnya kepada rakyat.
3)
Desentralisasi kekuasan dan tanggung jawab atas dasar sistem otonomi daerah
untuk lebih
mendekatkan rakyat pada pengambilan keputusan.
4)
Sistem pembuatan undang-undang yang demokratis, aspiratif dan terbuka
prosesnya.
5)
Sistem peradilan yang independen, yang bebas dari tekanan atau
pengaruh dari manapun datangnya.
6)
Pembatasan kekuasaan kepresidenan atas dasar konstitusi.
7)
Peran media yang bebas sebagai sarana kontrol sosial.
8)
Jaminan terhadap peran kelompok-kelompok kepentingan (civil society).
9) Hak
masyarakat untuk tahu.
10) Promosi dan
perlindungan HAM, termasuk perlindungan hak-hak minoritas karena beda agama,
ras, atau
etnis.
11) Kontrol sipil
terhadap militer.
Atas dasar langkah-langkah tersebut saat ini
Indonesia dikenal dan diakui sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia
setelah India dan AS.
Contoh-contoh implelemtasi dari nilai demokrasi
tersebut adalah:
1)
Prinsip pemerintahan berdasar konstitusi (baru) yang menjamin checks and
balances yang
sehat.
Contoh :
1. Aturan yang baik setidaknya dapat memuat empat
hak-hak dasar masyarakat, yaitu
a)
Kesehatan.
b)
Pendidikan.
c) Rasa
aman.
d)
Serta peningkatan perekonomian menuju kesejahteraan masyarakat.
Keempat hal ini tidak saja urgen untuk dipenuhi,
namun harus menjadi pilar yang melandasi setiap regulasi yang lahir dari
hubungan lembaga legislator dan eksekutor.
Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan
penerapan regulasi yang transparan, sehingga masyarakat bisa merasakan manfaat
pemerintah dengan baik, sehingga dua lembaga yang diharapkan dapat memiliki
hubungan yang check and balance , dapat menjalankan fungsinya
masing-masing, dengan tetap saling berkoordinasi.
2)
Pemilihan umum yang demokratis (free and fair),
yang pada akhirnya telah mengembalikan
kedaulatan sepenuhnya pada rakyat .
Contoh:
Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu
pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada dasarnya
manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial. Berdasarkan
gagasan dasar tersebut terdapat dua asas pokok demokrasi, yaitu:
a) Pengakuan partisipasi rakyat dalam
pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan
rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil.
b) Pengakuan hakikat dan martabat manusia,
misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi
kepentingan bersama.
Ciri-ciri pemerintahan demokratis yaitu adanya
Pemilihan umum secara langsung mencerminkan sebuah demokrasi yang baik.
a) Adanya keterlibatan warga negara (rakyat)
dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung
(perwakilan).
b) Adanya pengakuan, penghargaan, dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).
c) Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara
dalam segala bidang.
d) Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan
kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum.
e) Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh
warga negara.
f) Adanya pers (media massa) yang bebas untuk
menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
g) Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil
rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
h) Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil
untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota
lembaga perwakilan rakyat.
i) Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan
(suku, agama, golongan, dan sebagainya).
3)
Desentralisasi kekuasaan dan tanggungjawab atas dasar sistem otonomi daerah
untuk lebih mendekatkan rakyat pada pengambil keputusan.
Contoh :
1. Di Kabupaten Bandung, pelayanan
kebutuhan air bersih dikelola secara swakelola , dengan cara RW membangun sumur
artesis (sekitar 60m) dan menjualnya kepada warga sekitar dengan harga yang
lebih murah dibanding harga PDAM. Dalam hal ini, implementasi good local
governance terlihat dari posisi masyarakat bertindak selaku penyedia jasa layanan
( service provider ), pengguna( service user ), sekaligus kelompok kepentingan
( concern groups ).
4)
Sistem pembuatan undang-undang yang demokratis, aspiratif dan terbuka
prosesnya.
Contoh:
Partisipasi merupakan sistem yang berkembang
dalam sistem politik modern. Penyediaan ruang publik atau adanya partisipasi
masyarakat merupakan tuntutan yang mutlak sebagai upaya demokratisasi.
Masyarakat sudah semakin sadar akan hak-hak politiknya. Pembuatan peraturan
perundang-undangan, tidak lagi semata-mata menjadi wilayah dominasi birokrat
dan parlemen. Meskipun partisipasi masyarakat ini terlalu ideal dan bukan
jaminan bahwa suatu undang-undang yang dihasilkannya akan dapat berlaku efektif
di masyarakat, tetapi setidak-tidaknya langkah partisipatif yang ditempuh oleh
lembaga legislatif dalam setiap pembentukan undang-undang, diharapkan dapat
lebih mendorong masyarakat dalam menerima hadirnya suatu undang-undang.
Keberadaan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU sangat penting
dalam mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan melalui perangkat
Undang-Undang.
Demikian juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
sebagai pemegang legislasi, dituntut untuk membuka pintu yang seluas-luasnya
dalam persoalan partisipasi, apabila disepakati bahwa reformasi politik di
Indonesia merupakan tahapan untuk menuju demokratisasi. Karena anggota DPR
merupakan perwujudan representasi politik rakyat yang harus peka kepada
aspirasi publik yang telah memilihnya.
5)
Sistem peradilan yang independen, yang bebas dari tekanan atau pengaruh dari
manapun datangnya.
Contoh :
Independensi Peradilan secara umum dipakai untuk
mewakili lembaga peradilan, termasuk individu-individu hakimnya, sebagai
lembaga yang bebas dari intervensi dari pihak lain. Prinsip Dasar
Independensi Peradilan Versi PBB menjelaskan bahwa imparsialitas peradilan
ditentukan oleh perilaku hakim yang selalu memutus perkara yang diajukan kepada
mereka berdasarkan fakta-fakta dan kaitannya dengan hukum yang berlaku, tanpa
adanya pembatasan-pembatasan, pengaruh-pengaruh yang tidak seharusnya ada,
tekanan-tekanan, ancaman-ancaman, atau intervensi-intervensi, baik secara
langsung maupun tidak langsung dari pihak manapun dan dengan alasan apapun.
1. Reduksi kepercayaan publik secara konstan
adalah diakibatkan absennya prinsip independensi peradilan dalam upaya
melindungi hak warga negara untuk mendapatkan keadilan dan akses terhadap
keadilan. Penyebabnya, adalah perilaku korup dari institusi peradilan.
6)
Pembatasan kekuasaan kepresidenan atas dasar konstitusi.
Contoh :
Fungsi konstitusi dalam membatasi kekuasaan
Presiden bukan merupakan pemikiran baru, karena selain memang merupakan fungsi
utama konstitusi, beberapa kajian sebelumnya juga telah mengupas masalah ini
secara luas, bahwa konstitusi tidak saja berfungsi membatasi kekuasaan
Presiden, tetapi juga bagaimana semestinya kekuasaan Presiden itu diatur secara
tepat, tegas dan jelas di dalam konstitusi, sehingga walaupun kekuasaan
Presiden dibatasi, tetapi konstitusi juga dapat mengatur, bahwa kewenangan yang
dimiliki Presiden adalah kewenangan yang proporsional. Dalam perspektif
pembatasan kekuasaan Presiden, sebenarnya ada korelasi antara kekuasaan
Presiden dengan masa jabatannya. Jika masa jabatan Presiden tidak dibatasi
secara tegas dan jelas, maka Presiden dapat memperluas, memperkuat dan
memperpanjang jabatannya selama ia mau.
7)
Peran media yang bebas sebagai sarana kontrol sosial.
Contoh :
Negara demokrasi adalah negara yang
mengikutsertakan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, serta menjamin
terpenuhinya hak dasar rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah
satu hak dasar rakyat yang harus dijamin adalah kemerdekaan menyampaikan
pikiran, baik secara lisan maupun tulisan.
Pers adalah salah satu sarana bagi warga negara
untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki peranan penting dalam
negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan
penting dalam negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang
peranan penting dalam masyarakat demokratis dan merupakan salah satu unsur bagi
negara dan pemerintah yang demokrasi.
8)
Jaminan terhadap peran kelompok-kelompok kepentingan (civil society).
Contoh:
Masyarakat madani merupakan konsep yang memiliki
banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk
kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat
sipil, Merujuk pada Bahmueller (1997), ada beberapa karakteristik
masyarakat madani, diantaranya:
a) Terintegrasinya individu-individu dan
kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan
aliansi sosial.
b) Menyebarnya kekuasaan sehingga
kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh
kekuatan-kekuatan alternatif.
c) Dilengkapinya program-program pembangunan yang
didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis
masyarakat.
d) Terjembataninya kepentingan-kepentingan
individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan
masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
e) Tumbuh kembangnya kreatifitas yang pada
mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
f) Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan
(trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang
lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
g) Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan
lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat
dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana
para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan
pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya, dimana pemerintahan
memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan
program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani
bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted.
Masyarakat madani adalah konsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang
panjang dan perjuangan yang terus menerus. Beberapa prasyarat yang
harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic
governance (pemerintahan demokratis yang dipilih dan berkuasa secara demokratis
dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung
nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil
resilience). Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuah
prasyarat masyarakat madani sbb:
a) Terpenuhinya kebutuhan dasar individu,
keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
b) Berkembangnya modal manusia (human
capital) dan modal sosial (social capital) yang kondusif bagi
terbentuknya
kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan
relasi
sosial antar
kelompok.
c) Tidak adanya diskriminasi dalam
berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses
terhadap berbagai
pelayanan sosial.
d) Adanya hak, kemampuan dan
kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya untuk
terlibat
dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan
publik dapat
dikembangkan.
e) Adanya kohesifitas antar kelompok
dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai
perbedaan antar
budaya dan kepercayaan.
f) Terselenggaranya sistem pemerintahan
yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial
berjalan secara
produktif dan berkeadilan sosial.
g) Adanya jaminan, kepastian dan
kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang
memungkinkan terjalinnya
hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
9)
Hak masyarakat untuk tahu.
Contoh:
1. Sementara itu, para wakil rakyat kita menilai
sebaliknya, dengan mengatakan pembangunan gedung baru DPR adalah suatu
keharusan, mengingat daya tampung ruang yang tidak lagi mencukupi. Kontroversi
semakin meruncing setelah salah satu Anggota DPR memberikan pernyataan tentang
tidak perlunya rakyat dilibatkan dalam hal pembangunan gedung baru DPR. Bahkan
ia menolak dilakukannya survei opini publik untuk mengetahui respons rakyat.
Padahal dalam demokrasi, pemerintah dan para
wakil rakyat kita, diharuskan sebisa mungkin, bersikap terbuka. Artinya,
gagasan dan keputusannya harus terbuka bagi pengujian publik secara seksama.
Sudah barang tentu, tidak semua langkah pemerintah dan wakil rakyat harus
dipublikasikan, namun rakyat punya hak untuk mengetahui bagaimana uang mereka
dibelanjakan.
Dengan biaya yang begitu besar, yang memakan
anggaran sampai Rp. 1,16 triliun, rakyat tentu perlu tahu apa alasan dari
rencana pembangunan gedung baru DPR. Jika wakil rakyat hanya menggunakan asumsi
tentang tidak mencukupinya ruang dalam membangun gedung baru DPR, tentu hal itu
bukanlah sebuah penjelasan yang rasional. Apalagi terdengar kabar yang
menyebutkan masih ada satu anggota DPR yang memiliki dua ruang sekaligus.
Penjelasan tentunya harus di barengi dengan
urgensi. Tentang apakah pembangunan gedung baru DPR itu lebih urgen dari
hal-hal mendesak lainnya seperti agenda kerja untuk mensejahterakan
rakyat. Untuk itu para wakil rakyat kita ditekankan untuk selalu
mengedepankan kepentingan rakyat sebelum memutuskan menggunakan anggaran yang
sangat besar dalam membangun gedung baru DPR, mengingat masih
memperihatinkannya kondisi rakyat Indonesia dari segi ekonomi. Andaikan dana
sebesar itu digunakan untuk kepentingan rakyat, tentu hal itu akan lebih
bermanfaat dan DPR akan di puji oleh rakyat dan bukannya dikritik.
Sebagaimana dikatakan oleh Ahmad Arif, jika dana
sebesar itu digunakan untuk kepentingan rakyat, seperti membangun 116 unit
rumah bagi fakir miskin dengan asumsi per rumah menghabiskan dana Rp100 juta,
maka rakyat akan mendapatkan rumah yang bukan tipe RSSS (rumah sangat sederhana
sekali) yang umumnya mereka tempati pada saat ini. Atau akan lebih baik lagi
jika dana Rp 1.16 triliun itu digunakan untuk membuka lahan pertanian seluas 20
ribu hektare. Telah menjadi rahasia umum bahwa mayoritas petani kita saat ini
merupakan petani penggarap alias tidak punya lahan .
Itulah alasan mengapa rakyat perlu tahu. Karena
jika rakyat tidak tahu atau tidak dilibatkan dalam hal ini, maka para wakil
rakyat kita itu pantas disebut oleh apa yang Franz Magnis Suseno (2004)
katakan, “…’UANG bagi mereka adalah segala-galanya’. Mereka itu adalah elit
negara kita. Elit yang sudah lupa akan rakyat yang membiayai mereka. Elit yang
sedang merusak negara ini karena mereka berpolitik ‘tanpa suara hati’, karena
agama pada mereka merosot menjadi ‘aspirasi’ daripada ‘inspirasi’, karena bagi
merekalah uang segala-galanya”.
10) Promosi dan
perlindungan HAM , termasuk perlidungan hak-hak minoritas karena beda agama,
ras, atau etnis.
Contoh :
HAM sebagaimana diketahui adalah hak dasar/mutlak
pemberian Tuhan yang dimilik setiap manusia serta melekat untuk selamanya. Di
dalam pelaksanaanya wajib memperhatikan dan menghormati hak orang lain. Karena,
demi terciptanya harmonisasi hubungan antarwarga masyarakat, setiap anggota
masyarakat dalam merealisasikan hak dasar tersebut dilakukan dengan penuh
kearifan, artinya ketika menikmati hak asasinya dibarengi pula dengan kesadaran
bahwa ada kewajiban asasi dan tanggung jawab asasi.
Dalam masyarakat modern, perbedaan anggota
masyarakat karena jabatan atau posisi dan peran yang diemban merupakan
kewajaran. Perbedaan tersebut bukan berarti ada diskriminasi dalam menikmati
hak asasinya yang dijamin oleh UUD maupun perundang-undangan lain suatu negara.
Karenanya penyebaran tentang pemahaman, pengetahuan, pendalaman sampai
memasyarakatkan HAM menjadi penting, terutama di kalangan akar rumput (grass
root). Tanpa kemauan politik dan keberanian politik yang kuat dari suatu
rezim, pemerataan HAM dapat tersandar.
Disinilah partisipati aktif pemerintah ada
kemauan dan tindakan politik serta pengawasan (monitoring) terhadap
pejabat yang menyatakan siap mengamankan UUD negara, inklusif menghormati HAM
agar tidak sewenang-wenang atau tidak menegakkan HAM di dalama berbagai
peraturan yang efektif. Begitu juga, partisipasi yang aktif warga
masyarskat dituntut, baik dalam bentuk partisipasi akitif para pengamat,
intelektual, agaman, maupun kelompok masyarakat dalam wadah LSM/Ornop atupun
lembaga formal lainnya. Dengan adanya langkah-langkah tersebut, upaya
diseminasi HAM semakin efektif sehingga rangkaian kegiatan dari semua unsur
masyarakat akan menjadi mesin utama yang terus berproses dan bergerak menyebarluaskan
HAM di masyarakat.
11) Kontrol sipil
terhadap militer.
Contoh:
Posisi militer yang sebenarnya adalah berada di
bawah kontrol sipil secara demokratis. Dengan kalimat lain, hubungan
sipil-militer (HSM) yang demokratis terjadi bila militer dikendalikan oleh
sebuah kontrol sipil secara demokratis. Secara teoretis, kontrol sipil adalah
sederhana: Semua keputusan pemerintah, termasuk keamanan nasional, tidak
ditentukan oleh militer sendiri, melainkan diputuskan oleh pejabat sipil yang
terpilih secara demokratis. Pada prinsipnya, kontrol sipil adalah absolut dan
mencakup keseluruhan. Tidak ada keputusan atau tanggung jawab yang diberikan
kepada militer kecuali secara ekspresif atau implisit didelegasikan kepadanya
oleh pemimpin sipil. Bahkan keputusan-keputusan perintah. Pemilihan strategi,
operasi apa yang digunakan dan kapan, taktik apa yang dipakai, manajemen
internal militer berasal dari kekuasaan sipil. Mereka didelegasikan untuk
menyeragamkan personel hanya untuk alasan-alasan kenyamanan, tradisi, keefektifan,
atau pengalaman militer dan keahlian. Kaum sipil membuat semua
peraturan, dan mereka dapat mengubahnya kapanpun.
Ancaman dan misi militer dalam konteks
pertahanan-keamanan. Secara konvensional fungsi utama militer adalah memelihara
pertahanan dan keamanan nasional. Misi dan doktrin keamanan nasional (national
security) sangat menentukan posisi militer. Pijakan utama formulasi doktrin
pertahanan dan keamanan sebagai perangkat lunak adalah “ancaman”, yang secara
umum bisa dirumuskan menjadi dua kategori, yaitu sifat ancaman dan asal
ancaman.
Nilai Kebersamaan
Salah satu masalah utama yang dihadapi bangsa
Indonesia saat ini adalah memudarnya wawasan kebangsaan dan rasa bangga sebagai
bangsa atau rasa nasionalisme yang dikumandangkan dengan penuh heroik pada
tahun 1928, yang dikenal sebagai hari sumpah pemuda.
Tergerusnya rasa nasionalisme suatu bangsa dapat
disebabkan oleh hal-hal yang bersifat internal maupun eksternal. Bersifat
internal, manakalah rasa kebersamaan antara sesama anak bangsa
mulai berkurang, seperti memelihara persamaan dalam perbedaan dan memelihara
perbedaan dalam persamaan. bersifat eksternal dapat diidentifikasi dalam bentuk
rong-rongan dan gangguan dari berbagai kepentingan asing yang bersifat
pragmatis, historis, yang bertujuan untuk memecah belah semangat kebangsaan
termasuk integritas wilayah, kedaulatan nasional dan kemerdekaan politik
nasional.
Berkaitan dengan pengaruh yang bersifat ekternal,
globalisasi yang melanda dunia, termasuk Indonesia, tidak mungkin untuk
dihindari. globalisasi adalah proses homogenisasi dengan masuknya atau
meluasnya pengaruh nilai-nilai dari suatu wilayah/negara ke wilayah/negara lain
dan atau proses masuknya pengaruh sistem nilai lain kedalam suatu negara
sebagai konsekwensi pergaulan dunia akibat kemajuan teknologi komunikasi,
informasi dan transportasi modern yang sangat cepat. Perbedaan
internasionalisasi dan globalisasi adalah bahwa dalam internasionalisasi
kedaulatan suatu bangsa masih memegang peranan penting, sedangkan globalisasi
menumbuhkan nilai-nilai kosmopolitan.
Proses globalisasi yang semula bernuansa ekonomis
kemudian mengandung implikasi multidimensional bahwa suatu aktivitas yang
sebelumnya terbatas jangkauannya secara nasional, secara bertahap
berkembang menjadi tidak terbatas pada suatu negara. Hal ini dapat
diamati, globalisasi dalam budaya (cultural diffusion) sebagai
dampak pertumbuhan kontak-kontak budaya sehingga menciptakan satu
standard kehidupan dan pemikiran (world culture) misalnya, seperti
masuknya pengaruh luar khususnya budaya barat melalui media tv dan internet,
budaya barat dalam bentuk konsumerisme dan cara berpakaian dan pergaulan
bebas yang diikuti dan dijadikan model oleh sebagian masyarakat kita.
Kedepan diperlukan adanya pemaknaan nilai-nilai
ideologi Pancasila yang berlangsung secara dialogis, tidak monologis.
pemaknaan sila-sila Pancasila ditopang oleh pilar-pilar dan nilai-nilai
kearifan lokal yang meragai pluralisme konstruktif, mencerminkan keanekaragaman
yang Berbhinneka Tunggal Ika. Pemaknaan masing-masing sila
Pancasila sesuai dengan adat istiadat dan budaya masyarakat di daerah,
merupakan manifestasi dari common value yang hidup ditengah
masyarakat, akan menumbuhkembangkan sikap dan perilaku masyarakat sebagai
pemilik ideologi yang bersifat lintas kultural sebagai benang emas (golden
thread) yang menembus sekat-sekat budaya (cultural barriers).
Dengan pemaknaan yang tepat terhadap nilai-nilai
Pancasila, sebagai ideologi dan simpul kebangsaan yang dapat mencerminkan
kebersamaan, di era globalisasi yang penuh dengan turbulensi sosial dewasa ini,
sangat dibutuhkan, karena kesadaran atas kebersamaan yang kuat merupakan
kapital sosial yang sebenarnya memiliki akar budaya kuat di Indonesia.
Tanpa itu peranan negara akan menjadi sangat lemah
dan tidak effektif dilanda oleh arus globalisasi dan regionalisasi yang
cenderung semakin kuat. Salah satu contoh adalah komentar para ahli tentang
terror di Mumbai India baru-baru ini yang diakibatkan oleh tidak berfungsinya
(disfungsionalisasi) pemerintah pusat di India menghadapi arus globalisasi dan
industrialisasi serta akibat kuatnya federalisme sebagai dampak pengaruh
globalisasi demokrasi. Salah satu kegagalan di sini adalah kegagalan mengelola
pluralisme (agama) dan kewaspadaan nasional.
Kebersamaan sebagai satu bangsa yang sangat
pluralistik yang dibangun atas dasar jiwa dan semangat nilai-nilai obyektif dan
non-primordialistik, sangat strategis yang tidak hanya larut pada pendekatan
alamiah, rutin, praktis dan pragmatis semata dan menganggap persatuan nasional
sebagai mitos yang langgeng. Memantapkan karakter bangsa dan
memperkuat integrasi bangsa serta kehendak politik untuk selalu meningkatkan
rasa kebangsaan sehingga sangat dipehitungkan bangsa dan negara lain, merupakan
elemen kekuatan dan ketahanan nasional yang yang terus menerus memerlukan
intervensi pemerintah dengan mengedepankan ”soft power”. Hal ini
terutama menghadapi generasi baru yang melihat Indonesia sebagai suatu yang ”given”
dan ”instant”.
Dalam posisi yang demikian, memiliki kesadaran
dan komitmen yang kuat terhadap 4 konsensus dasar bangsa Indonesia yakni
Pancasila, UUD NRI TH 1945, asas Bhinneka Tunggal Ika dan asas NKRI, yang
secara keseluruhan menggambarkan bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi
ketiga terbesar di dunia, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, dan
negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia, tetap tegar sebagai suatu
sistem baik sistem fisik (kerjasama secara terpadu dari pelbagai sub-sistem
untuk mencapai tujuan) maupun sebagai sistem abstrak (kesatuan karakter,
pandangan, nilai, perilaku dan falsafah) memerlukan manajemen yang sistemik,
berkelanjutan dengan perspektif jangka panjang.
Salah satu upaya untuk menghentikan
kerawanan dan berkembangnya konflik dalam masyarakat, adalah dengan pemahaman
nilai ideologi Pancasila dan transformasi nilai universal secara benar dan
komprehensif. Oleh sebab itu untuk menghadapi tantangan global yang semakin
kompleks dan berkembang dengan cepat serta tidak terbayangkan sebelumnya,
diperlukan ide-ide segar yang dikembangkan dalam konteks kultural dan
nilai-nilai ideologi Pancasila yang ditopang oleh pilar-pilar dan nilai-nilai
kearifan lokal yang hidup dan berkembang dalam masyarakat di daerah, yang
dipertimbangkan merupakan sub-sistem nasional dan bukan yang sebaliknya
merupakan “counter system”.
Dalam era globalisasi dewasa ini, tidak mungkin
suatu negara dapat hidup dan membangun kemajuan dalam posisi mengisolasi diri
dari pengaruh antar negara lewat teknologi informasi, teknologi industri,
perdagangan uang dan perdagangan komoditas antar bangsa merupakan kenyataan
yang harus dihadapi. Untuk itu diperlukan kecerdasan sekaligus kecerdikan
taktis dan strategis untuk merubah dampak yang ditimbulkan oleh globalisasi
dari tantangan menjadi peluang.
Globalisasi harus difahami sebagai fenomena
meningkatnya proses multikulturalisme atau diversitas budaya yang secara
alamiah akan meningkatkan asimilasi budaya, akbat proses kombinasi antara
kekuatan ekonomi, teknologi, sosial budaya dan kekuatan politik.
Hal ini pada tingkat nasionalisme maupun
internasionalisme dibutuhkan secara sadar promosi atau pemajuan perdamaian dan
pengertian antar manusia.
Krisis finansial global akhir-akhir ini telah
mendemonstraikan kenyataan bahwa globalisasi merupakan suatu proses dimana
manusia di dunia telah dipersatukan kedalam suatu masyarakat
tunggal (single society) dan berfungsi bersama (function
together) , baik dalam menikmati kemajuan maupun dalam menghadapi bahaya
bersama. dalam hal ini Nilai-Nillai Kebersamaan itulah yang menjadi
suatu kekuatan bagi bangsa Indonesia, terutama didalam menghadapi kuatnya arus
globalisasi, dan informasi saat ini.
Ketaatan Hukum dalam Konstitusi
Istilah konstitusionalisme mempunyai makna suatu
paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui
konstitusi. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksud ialah pembentukan
suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Dalam hal ini,
yang dimaksud negara adalah organisasi kekuasaan. Dikatakan organisasi
kekuasaan, karena dalam setiap negara terdapat pusat-pusat kekuasaan[2].
Pusat-pusat kekuasaan tersebut baik yang terdapat
dalam Supra Struktur Politik maupun dalam Infra Struktur Politik. Supra
Struktur Politik meliputi organ legislatif, eksekutif, yudisial. Di sisi lain,
Infra Struktur Politik terdiri atas Partai Politik, Tokoh Politik, Kelompok
Penekan, Kelompok Kepentingan, dan Alat Komunikasi Politik. Selanjutnya
pusat-pusat kekuasaan yang mempunyai kekuasaan itu mempunyai kekuasaan itu
mempunyai kemampuan mengendalikan pihak lain.
Selain konstitusionalisme, sokoguru Indonesia
adalah paham negara hukum. Di dalam kepustakaan hukum di Indonesia istilah negara
hukum sudah sangat populer. Pada umumnya istilah tersebut dianggap merupakan
terjemahan yang tepat dari dua istilah yaitu rechtsstaat dan the
rule of law. Istilah Rechtsstaat (yang dilawankan dengan Machtsstaat)
memang muncul di dalam penjelasan UUD 1945 yakni sebagai kunci pokok pertama
dari Sistem Pemerintahan Negara yang berbunyi ” Indonesia ialah negara yang
berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka
(machtsstaat).” Kalau kita lihat di dalam UUD 1945 BAB I tentang Bentuk
dan Kedaulatan pasal 1 hasil Amandemen yang ketiga tahun 2001, berbunyi ”
Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Dari teori mengenai unsur-unsur negara hukum,
apabila dihubungkan dengan negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar NRI Th.1945, dapat ditemukan unsur-unsur negara hukum,
yaitu: Pertama, adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan
warga negara. Kedua, adanya pembagian kekuasaan. Ketiga, dalam melaksankan
tugas dan kewajibannya, pemerintah harus selalu berdasar atas hukum yang
berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Keempat, adanya
kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya bersifat merdeka,
artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun kekuasaan lainnya.
Hukum obyektif adalah kekuasaan yang
bersifat mengatur, hukum subyektif adalah kekuasaan yang diatur oleh hukum
obyektif. Fungsi hukum sebagai sosial kontrol merupakan aspek yuridis normatif
dari kehidupan sosial masyarakat. Efektivitas hukum dalam masyarakat
mengandung arti bahwa daya kerja hukum itu dalam mengatur dan/atau memaksa
masyarakat untuk taat terhadap hukum.
Menurut K.C. Wheare, kalau
berangkat dari aliran positivisme hukum, maka konstitusi itu mengikat, karena
ia ditetapkan oleh badan yang berwenang membentuk hukum, dan konstitusi itu
dibuat untuk dan atas nama rakyat (yang didalamnya sarat dengan ketentuan
sanksi yang diatur lebih lanjut dalam undang-undang organik).
Di dalam teori-teori ilmu hukum, dapat dibedakan
tiga macam hal mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Pertama, kaidah hukum
berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih
tinggi tingkatanya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan. Kedua,
kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif.
Artinya, kaidah dimaksud dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun
tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku
karena adanya pengakuan dari masyarakat. Ketiga, kaidah hukum berlaku secara
filosofis, yaitu sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang
tertinggi.
Hukum berfungsi sebagai alat untuk mengubah
masyarakat yang disebut oleh Roscoe Pound a tool of
social engineering. Perubahan masyarakat dimaksud
terjadi bila seseorang atau sekelompok orang mendapatkan kepercayaan dari
masyarakat sebagai pemimpin lembaga-lembaga kemasyarakatan. Selain itu, dapat
diketahui bahwa pranata hukum itu pasif, yaitu hukum menyesuaikan diri dengan
kenyataan sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu, terlaksana atau tidaknya
fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial amat ditentukan oleh faktor
aturan hukum dan faktor pelaksana hukum.
Pada umumnya orang berpendapat bahwa kesadaran
warga masyarakat terhadap hukum yang tinggi mengakibatkan para warga masyarakat
mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya,
apabila keadaran warga masyarakat terhadap hukum rendah, derajat kepatuhannya
juga rendah. Pernyataan yang demikian berkaitan dengan fungsi hukum dalam
masyarakat atau efektivitas dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum dalam
masyarakat.
Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu
peraturan adalah warga masyarakat (warga negara). Warga negara adalah penduduk
sebuah negara atau bangsa yang berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, dan
atau orang-orang lain (bangsa lain) yang disyahkan dengan undang-undang sebagai
warga negara yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang warga dalam
suatu negara tertentu. Hal ini tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada
Pada BAB X tentang Warga Negara dan Penduduk Pasal 26 ayat (1) Yang menjadi
warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa
lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Ayat (2) Penduduk
ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di
Indonesia.
Seorang warga masyarakat mentaati hukum karena
pelbagai sebab. Pertama, Takut karena sanksi negatif, apabila hukum dilanggar.
Kedua, untuk menjaga hubungan baik dengan penguasa. Ketiga, untuk menjaga hubungan
baik dengan rekan-rekan sesamanya. Keempat, karena hukum tersebut sesuai dengan
nilai-nilai yang dianut. Kelima, kepentingan terjamin. Suatu norma hukum akan
dihargai oleh warga masyarakat apabila ia telah mengetahui, memahami, dan
menaatinya. Artinya, dia benar-benar dapat merasakan bahwa hukum tersebut
menghasilkan ketertiban serta ketentraman dalam dirinya. Hukum tidak hanya
berkaitan dengan segi lahiriyah dari manusia, akan tetapi juga dari segi
batiniah. Dalam kajian struktur bahasa hukum tentang daya ikat konstitusi
dalam aspek hukum bisa kita lihat dalam tindakan bahasa. Ketika tindakan bahasa
hukum diperlukan untuk mempengaruhi perilaku, maka ditetapkanlah
tindakan-tindakan bahasa direktif, institusional dan perikatan. Tindakan bahasa
direktif yang padanya pembicara menggunakan sebuah kalimat untuk menggerakkan
pendengarannya demi melakukan sebuah sesuatu. Sedangkan tindakan bahasa
institusional, menggunakan sebuah kalimat yang dilaksanakan dalam sebuah
institusi peradilan dan seterusnya. Di dalam institusi itu terdapat
aturan-aturan konstitutif yang menimbulkan akibat institusional, dilengkapi
dengan diktum sebuah undang-undang atau undang-undang dasar yang mengikatkan
diri. Kemudian kalau dilihat dari prinsip-prinsip wawasan negara berdasar
atas hukum (rechtsstaat) sebagaimana dikatakan oleh Zippelius,
konstitusi merupakan alat untuk membatasi kekuasaan negara. Prinsip-prinsip ini
mengandung jaminan terhadap ditegakkanya hak-hak asasi, adanya pembagian
kekuasaan dalam negara, penyelenggaraan yang didasarkan pada undang-undang, dan
adanya pengawasan yudisial terhadap penyelenggaraan pemerintah tersebut.
Esensi hukum postif, wawasan negara berdasarkan
atas hukum (rechtsstaat), inklusif di dalamnya pemahaman tentang
konstitusi sebagai dokumen formal yang terlembagaan oleh alat-alat negara dan
sekaligus sebagai hukum dasar yang tertinggi. Bila demikian halnya, maka
konstitusi akan selalu mengikat seluruh warga negara.
2. MENINGKATKAN PEMAHAMAN NILAI-NILAI
KONSTITUSI
Konstitusi Negara Republik Indonesia adalah UUD
NRI Tahun 1945. Konstitusi UUD NRI Tahun 1945 mempunyai peran penting dalam
mempertahankan esensi keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bangsa
Indonesia telah menyepakati untuk meletakkan konstitusi dalam kehidupan guna
mengatur tata kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara baik
secara nasional maupun internasional agar dapat berdiri sejajar dengan bangsa
dan negara lain yang ada dan berdaulat di dunia ini.
Keberadaan konstitusi UUD NRI Tahun 1945
diharapkan dapat dijadikan pedoman dalam praktik kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu budaya sadar konstitusi perlu
dikembangkan agar masyarakat memahami norma-norma dasar dalam konstitusi dan
menerapkannya dalam wujud sikap positif terhadap pelaksanaan UUD NRI Tahun
1945.
Dalam rangka menumbuhkan sikap positif terhadap
pelaksanaan UUD NRI Tahun 1945, kita perlu membangun budaya sadar konstitusi
agar masyarakat memiliki kesadaran akan hak dan kewajiban konstitusionalnya
sebagai warga negara baik perorangan maupun kelompok melalui pemahaman
nilai-nilai konstitusi UUD NRI Tahun 1945.
Peranan Nilai-nilai Konstitusi.
Peranan Nilai-nilai Konstitusi bagi suatu bangsa
sangat strategis karena konstitusi adalah “the supreme law of the land”, merupakan
“national myth and symbol bangsa dan negara” yang selalu terbuka bagi
perubahan (amandemen) sehingga merupakan “the living constitution”
sehingga memiliki peranan yang strategis berupa:
1) Menjaga kredibilitas dan efektivitas pelbagai
lembaga publik.
2) Menjamin kehidupan demokrasi dan “public
engagement”.
3) Menumbuhkan kepercayaan masyarakat dalam
rangka akuntabilitas
badan-badan publik.
Salah satu agenda utama proses reformasi yang
sangat monumental tersebut adalah amandemen UUD NRI Tahun 1945 yang telah
dilaksanakan secara bertahap sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000,
2001 dan 2002. Dalam proses amandemen tersebut telah terjadi pelbagai
perkembangan yang signifikan pada pokok-pokok pikiran, struktur kelembagaan dan
relasi antar lembaga negara, bahkan sampai dengan peniadaan lembaga-lembaga
yang sebelumnya ada (mis. DPA), disamping munculnya lembaga-lembaga baru yang
sebelumnya belum dikenal seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, DPD dan
sebagainya. Boleh dikatakan bahwa yang tidak tersentuh dengan proses amandemen
adalah 4(empat) konsensus dasar (4 Pilar,istilah MPR) yaitu Pembukaan UUD NRI
Tahun 1945 yang meliputi Pancasila, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan Sesanti Bhinneka Tunggal Ika.
Yang sangat mendasar antara lain adalah tekad
untuk memperbaiki sistem “checks and balances” berupa
ketentuan-ketentuan konstitusional yang mengatur agar tiga cabang pemerintahan
nasional saling membatasi kewenangan dan menjaga keseimbangan satu sama lain,
sehingga mencegah adanya konsentrasi kekuasaan politik pada salah satu cabang
pemerintahan (legislatif, eksekutif dan yudikatif). “the constitutional
provision whereby the three branches of the national govermentmat restrict
one another’s authority, thus preventing a consntration of political power in
any one branch (dye and ziegler: 2000)”
Pemahaman Nilai-nilai Konstitusi.
Pemahaman Nilai-nilai Konstitusi UUD NRI Tahun
1945, diharapkan dapat digunakan sebagai bahan untuk memperluas wawasan dan
mempertajam analisis guna terwujudnya kesamaan persepsi dalam penyelenggaraan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam melaksanakan kewenangan
dan kekuasaan sesai tanggung jawab yang dibebankan negara, senantiasa berpikir,
bersikap dan bertindak secara komprehensif dan integral, mengutamakan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi, daerah dan golongan.
Berpikir, bersikap dan bertindak yang dilandasi penghayatan dan pengamalan
nilai-nilai Pancasila, nilai-nilai konstitusi, nilai-nilai perbedaan dalam
keberagaman dalam rangka menjamin tegak dan utuhnya Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Berpikir, bersikap dan bertindak untuk senantiasa menjaga terbinanya
persatuan dan kesatuan bangsa dengan berlandaskan penghayatan dan pengamalan
nilai-nilai yang terkandung dalam Konstitusi UUD NRI Tahun 1945.
Sebagai warga Negara yang baik adalah memiliki
kesetiaan terhadap bangsa dan Negara, yang meliputi kesetiaan terhadap ideologi
Negara, kesetiaan terhadap konstitusi, kesetiaan terhadap peraturan
perundang-undangan, dan kesetiaan terhadap kebijakan pemerintah. Oleh sebab itu
maka setiap warga Negara harus dan wajib untuk memiliki prilaku positif
terhadap konstitusi, yang mempunyai makna berprilaku peduli atau memperhatikan
konstitusi (UUD), mempelajari isinya, mengkaji maknanya, melaksanakan
nilai-nilai yang terjandung didalamnya, mengamalkan dalam kehidupan, dan berani
menegakkan jika konstitusi di langgar.
Cita-cita tersebut dapat terwujud seandainya
masyarakat Indonesia dapat memahami nilai-nilai dengan sikap yang positif.
Contoh sikap positif yang berkaitan dengan
nilai-nilai kebangsaan yang terkandung dalam Konstitusi UUD NRI Tahun 1945,
adalah:
1)
Nilai kemanusiaan.
a) Mengakui
persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
a) Saling
mencintai sesama manusia.
b)
Mengembangkan sikap tenggang rasa.
c) Tidak
semena-mena terhadap orang lain.
d) Menjunjung
tinggi nilai kemanusiaan.
e) Gemar
melakukan kegiatan kemanusiaan.
f)
Berani membela kebenaran dan keadilan.
g) Bangsa
Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari masyarakat dunia internasional dan
dengan itu
harus mengembangkan sikap saling hormat-menghormati dan bekejasama dengan
bangsa lain
2) Nilai
religius.
a) Percaya dan
taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-
masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
b) Hormat dan
menghormati serta bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut
kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
c) Saling
menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan
masing-
masing.
d) Tidak memaksakan
suatu agama atau kepercayaan kepada orang lain.
3) Nilai
Produktivitas.
a)
Kualitas perlindungan terhadap masyarakat dalam menuju kemakmuran.
b)
Kualitas undang-undang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
4)
Nilai Keseimbangan.
a)
Menjalankan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang proporsional.
b)
Tidak memaksakan kehendak, tetapi ber-emphaty.
c)
Keseimbangan antara kehidupan jasmani dan rohani.
5)
Nilai Demokrasi.
Kedaulatan berada di tangan rakyat, berarti
setiap warga negara memiliki kebebasan yang bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan pemerintahan sehingga dapat terwujud persatuan dan kesatuan
Indonesia. Pilar utama persatuan dan kesatuan Indonesia. Pilar utama dalam
membangun persatuan dan kesatuan bangsa dalam masyarakat, adalah:
a) Rasa
cinta tanah air.
b) Jiwa
patriot bangsa.
c)
Tercapainya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pondasi utama tegaknya persatuan dan kesatuan
bangsa adalah rasa cinta dan patriotisme terhadap tanah air serta hadirnya
kesejahteraan rakyat. Berkaitan dengan faktor penting dalam membina dan
memelihara persatuan dan kesatuan bangsa adalah:
a)
Segala derap langkah yang utama harus didasarkan pada upaya mengejar
kepentingan masyarakat,
bangsa dan negara.
b)
Terpeliharanya rasa kemanusiaan dan keadilan.
c)
Pemahaman yang benar atas realitas adanya perbedaan dalam
keberagaman.
d)
Tumbuhnya kebanggaan sebagai bangsa Indonesia.
6)
Nilai Kesamaan Derajat.
Setiap warga negara memiliki hak, kewajiban dan
kedudukan yang sama di depan hukum. Masyarakat menilai bahwa upaya penegakkan
HAM yang paling menonjol adalah penegakkan hak mengeluarkan pendapat, kebebasan
beragama, perlindungan dan kepastian hukum, serta bebas dari perlakuan
tidakmanusiawi. Hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, mendapatkan
pendidikan dan pelayanan kesehatan, serta aman dari ancaman ketakutan.
7)
Nilai ketaatan Hukum.
Setiap warga negara tanpa pandang bulu wajib
mentaati setiap hukum dan peraturan yang berlaku.
3. Penutup.
Dalam meningkatkan Pemahaman Nilai-Nilai
Konstitusi, perlu Konsepsi yang jelas dan tegas terhadap Nilai Demokrasi,
Kebersamaan, dan Ketaatan pada Hukum yang berlaku, Oleh karena itulah kita
perlu mengangkat kembali nilai-nilai kebangsaan khususnya nilai-nilai yang
terkandung dalam konstitusi UUD NRI Tahun 1945, demi meneguhkan kembali jati
diri bangsa dan membangun kesadaran tentang sistem kenegaraan yang menjadi
konsensus nasional, sehingga diharapkan bangsa Indonesia dapat tetap menjaga
keutuhan dan mampu menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia di
tengah terpaan arus globalisasi yang bersifat multidimensial.